Pada tanggal 27-30 yang lalu, Direktorat Bina Kesehatan Ibu menyelenggarakan Pertemuan Tingkat Nasional Pemantapan Pelayanan Rujukan. Beberapa pointers penting yang disampaikan oleh Ibu dr. Sri Hermiyanti selaku Direktur Bina Kesehatan Ibu antara lain, dalam rangka PP AKI, determinan yang paling dekat untuk mencegah kematian adalah mengatasi komplikasi penyebab langsung kematian ibu yang terjadi seputar persalinan dan nifas. Cakupan Penanganan Komplikasi Kebidanan (PK) tahun 2008 baru 46 % dari 50 % yang ditargetkan, padahal PK merupakan salah satu indikator dari SPM Kabupaten/Kota bidang kesehatan yang mentargetkan pencapaian PK menjadi 80 % pada tahun 2015; dan juga keluaran Utama Rencana Kerja Pemerintah Bidang Kesehatan pada fokus ke 6 yaitu “Percepatan Penurunan AKI dan AKB; Perbaikan Gizi Masyarakat serta Pencegahan Penyakit” yang mentargetkan pencapaian PK menjadi 75 % pada 2010.
Beberapa penyajian menarik muncul dari Kab. Banjarnegara dan paparan hasil studi Immpact, FKM UI.
Banjarnegara melakukan penguatan di tingkat masyarakat, tingkat pelayanan kesehatan dan tingkat manajemen. Di tingkat masyarakat beberapa hal yang baru a.l SK Camat/ Kades untuk AMP sosial dan adanya penyuluh KIA, selain tentunya tetap meningkatkan fungsi Desa Siaga dan P4K. Ditingkat pelayanan, memperkuat Puskesmas PONEd yang dilakukan Assesment tiap 6 bulan, serta mikroplanning khusus KIA.
Untuk hasil Immpact, berdasarkan hasil tiga studi, terdapat beberapa temuan terkait rujukan a.l:
1. Jumlah kasus komplikasi yang ditangani oleh Rumah Sakit masih rendah menunjukkan kurang berfungsinya sistem rujukan (rujukan tidak terjadi)Rate Near Miss di RS 0,8% sedangkan komplikasi obstetri berat diperkirakan sebesar 2%.
2. Kondisi kasus rujukan yang sampai di RS banyak yang sudah tidak baik, menunjukkan kualitas pada rantai rujukan yang kurang baik.
MEngapa kualitas rujukan tidak baik, terkait dengan beberapa hal:
1. Pengetahuan dan ketrampilan klinis tenaga kesehatan (bidan) kurang
2. Tidak tersedianya alat transportasi yang memadai untuk melakukan rujukan, terutama untuk kasus-kasus emergensi baik yang berada di daerah ‘mudah’ dan apalagi di daerah ‘sulit’
3. Komunikasi antar tenaga kesehatan kurang efektif
4. Kurangnya alat dan obat untuk merujuk dengan baik
Pengetahuan dan ketrampilan klinis tenaga kesehatan (bidan) kurang sehingga tidak dapat berfungsi dengan adekuat. Fungsi tsb adalah:
1. Mengidentifikasi masalah obstetri yg memerlukan rujukan, contoh:
Bidan tidak mengenali tanda-tanda impending eclampsia (1 kasus dgn mual, pusing disuruh ke mantri, 1 kasus pandangan kabur ditanya ‘Kok bengong?’, 1 kasus kejang dikira karena tersedak)
Peran dalam proses rujukan:
Klinis: perencanaan, penanganan dan pemantauan pada saat rujukan. Contoh:
Bidan merujuk pasien dalam keadaan emergensi tetapi tidak ditemani
Bidan merujuk dan menemani pasien dengan angkot tetapi bidan duduk di depan, pasien di belakang dalam keadaan terinfus
Bidan melakukan plasenta manual pada saat perdarahan belum diatasi dan pasien belum stabil
Pada saat merujuk bidan memberikan obat dan cairan yg tidak sesuai
Non klinis: perencanaan sistem yg mendukung rujukan (dana, transportasi, donor darah, dll)
Bidan mengetahui pasien miskin, tetapi tidak disiapkan SKTM.
Banyak hal lain yang belum dapat disampaika disini, mudah-mudahan dapat disampaikan di pertemuan tingkat Provinsi.
Nah, beberapa kesepakatan dari hasil pertemuan a.l:
1. Memperbaiki sistem pencatatan penanganan komplikasi
2. Identifikasi masalah spesifik daerah yang menghambat penanganan komplikasi
3. Melakukan analisa indikator dan hasil kegiatan
4. Melakukan DTPS
5. Mengoptimalkan sistem rujukan
6. Mengefektifkan TIM AMP sebagai wahana untuk komunikasi sistem rujukan.
Cakupan PEnanganan Komplikasi di Provinsi Kepri saat ini masih sekitar 43%, untuk itu perlu dikaji lagi sistem pencatatan dan pelaporan KIA.
Terima kasih
Selasa, 02 Juni 2009
Langganan:
Postingan (Atom)